PANTAI LAWATA

Lawata mengandung nilai historis yang perlu diketahui bersama oleh masyarakat Kota Bima. 
Menurut Drs. H. Abubakar Ismail, salah seorang pemerhati  sejarah  dan  budaya  Bima ( wawancara, 28 Pabruari  2008),  
mengatakan bahwa pada sekitar abad ke XI, Bima pada umumnya berada di bawah kekuasaan para Ncuhi/Kepala Suku. 
Kedua tempat ini pun tak luput dari kekuasaan Ncuhi dan menurut BO Kerajaan Bima yang dikutip oleh Drs. M. Hilir Ismail 
dalam bukunya yang berjudul ”Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara”,  
bahwa sekitar Ama Hami – Lawata dan Oi Ni’u  menjadi daerah kekuasaan Ncuhi Dara. Sementara kawasan lain juga terbagi 
secara merata menurut peraturan para Ncuhi pada masa itu. 
Adapun sebutan  lawata pertama kali diucapkan oleh Ncuhi Dara bersama istrinya ketika 
menerima kedatangan Indra Jamrut dan Indra Kumala. Seperti yang disebutkan bahwa lawata merupakan  "pintu pertama" 
menuju Kota Bima. Kedatangan, kedua putra kembar Sang Bima ini pun  juga melalui lawata. 
Ncuhi Dara menyambut kedatangan mereka hangat. Sambil mempersilahkan  keduanya,  Ncuhi  dara  berkata  
lawa-ta  (lawa  dalam  bahasa Bima berarti pintu sedangkan ta berarti kita) ”inilah pintunya”. 
Lawata bisa berarti pintu masuk kita,  namun bila penambahan kata ta jika diartikan sebagai tanda hormat 
pada seseorang bisa berarti ”permisi ! ini pintunya. Kata lawata hingga saat ini dikenal sebagai  pintu masuk Kota Bima. 
Selain itu, untuk mengenang kepemimpinan Ncuhi dara, pemerintah membangun sebuah obyek wisata  yang dikenal sebagai Lawata 
pada sekitar tahun 1964. Masa ini, Bima pada umumnya berada di bawah pemerintahan Bupati Putra Kahir.

Lawata terletak di kelurahan Dara. Hingga saat ini, tidak sedikit wisatawan yang datang ke sana. Beberapa gazebo dibuat di sana
dan terdapat sebuah gua yang dibuat oleh tentara Jepang ketika menjajah Indonesia.